07.55
Asal Usul Kesenian Wayang Golek
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada
keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek
tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan
perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986)
menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari
kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada
siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada
awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70
buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya
dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya
menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana
halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut
sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji
dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru
ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di
sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang
cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya
(1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari
babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu
berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan
lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840
(Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata
Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan
Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru,
Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang
dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun,
pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat
wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek
sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19.
Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak
dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan
Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan
menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang,
maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
Jenis - Jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek
purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di
Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa
Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita
Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai.
Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang
Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik
untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan
pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern
dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun
1970--1980.
Wayang Golek Cepak
Wayang golek cepak adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang ada
di Indramayu dan Cirebon. Golek artinya boneka sedangkan kata cepak
diambil dari bentuk kepala (mahkota) wayang yang papak (rata). Karena
bentuk inilah jenis kesenian ini dinamakan wayang golek cepak. Konon
wayang ini diciptakan oleh Sunan Gunung Djati sebagai media dakwah.
Berbeda dengan wayang kulit purwa, dalam wayang golek cepak tidak
dikenal tokoh seperti Arjuna atau Shinta. Tokoh-tokoh yang ada dalam
wayang golek cepak adalah subjek yang ada dalam babad atau sejarah. Maka
dikenallah Nyi Mas Gandasari, Wiralodra, Ki Tinggjl, Kuwu Sangkan,
Bagal Buntung, dan lain-lain. Dengan demikian, wayang ini sesungguhnya
teater sejarah, panggung pendidikan. Dengan kata lain, ia sebuah diorama
yang bergerak.
Selain grup "Sekar Harum" pimpinan dalang Ki Ahmadi, ada juga grup dan
dalang kesenian wayang golek lainnya. Mereka adalah Dalang Warsyad
dengan gmp "Jaka Baru" dari Gadingan Sliyeg dan dalang Ki Tayut dari
Desa Juntinyuat dengan nama grupnya "Sri Budi". Ki Tayut boleh dikatakan
dalang senior untuk wayang golek cepak. Ia kemudian mewariskan ilmu dan
perangkat keseniannya kepada anak dan cucunya, antara lain Taram,
Asmara, dan Tarjaya.Setali tiga uang, nasib grup kesenian dan dalangnya
sama; dalam titik nadir.
Wayang Golek Purwa
Wayang purwa sendiri biasanya menggunakan ceritera Ramayana dan
Mahabarata, sedangkan jika sudah merambah ke ceritera Panji biasanya
disajikan dengan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa sendiri terdiri dari
beberapa gaya atau gagrak, ada gagrak Kasunanan, Mangkunegaran,
Ngayogjakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainnya.
Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau, yang ditatah, diberi
warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan, diberi tangkai
dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama
cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit.
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah
dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan.
Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala
wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih
cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat
menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa
digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai
estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat
dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh
para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik
pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila
Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik
pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati
pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain
sebagai berikut:
Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya.
Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku.
Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau
membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya
kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan
mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan.
Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai
kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan
bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta
menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap
adat-istiadat bangsa.
0 komentar: