Selasa, 06 November 2012

Asal Usul Kesenian Wayang Golek


Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.

Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
Jenis - Jenis Wayang Golek

Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.
Wayang Golek Cepak


Wayang golek cepak adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang ada di Indramayu dan Cirebon. Golek artinya boneka sedangkan kata cepak diambil dari bentuk kepala (mahkota) wayang yang papak (rata). Karena bentuk inilah jenis kesenian ini dinamakan wayang golek cepak. Konon wayang ini diciptakan oleh Sunan Gunung Djati sebagai media dakwah.
Berbeda dengan wayang kulit purwa, dalam wayang golek cepak tidak dikenal tokoh seperti Arjuna atau Shinta. Tokoh-tokoh yang ada dalam wayang golek cepak adalah subjek yang ada dalam babad atau sejarah. Maka dikenallah Nyi Mas Gandasari, Wiralodra, Ki Tinggjl, Kuwu Sangkan, Bagal Buntung, dan lain-lain. Dengan demikian, wayang ini sesungguhnya teater sejarah, panggung pendidikan. Dengan kata lain, ia sebuah diorama yang bergerak.
Selain grup "Sekar Harum" pimpinan dalang Ki Ahmadi, ada juga grup dan
dalang kesenian wayang golek lainnya. Mereka adalah Dalang Warsyad dengan gmp "Jaka Baru" dari Gadingan Sliyeg dan dalang Ki Tayut dari Desa Juntinyuat dengan nama grupnya "Sri Budi". Ki Tayut boleh dikatakan dalang senior untuk wayang golek cepak. Ia kemudian mewariskan ilmu dan perangkat keseniannya kepada anak dan cucunya, antara lain Taram, Asmara, dan Tarjaya.Setali tiga uang, nasib grup kesenian dan dalangnya sama; dalam titik nadir.
Wayang Golek Purwa



Wayang purwa sendiri biasanya menggunakan ceritera Ramayana dan Mahabarata, sedangkan jika sudah merambah ke ceritera Panji biasanya disajikan dengan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa sendiri terdiri dari beberapa gaya atau gagrak, ada gagrak Kasunanan, Mangkunegaran, Ngayogjakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainnya.
Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau, yang ditatah, diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit.
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
Nilai Budaya



Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: 
Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. 
Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. 
Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.

0 komentar:

GALENDO

0Share JAWA Barat dikenal sebagai daerah yang kaya makanan tradisional.Salah satunya adalah galendo (gelendo) Ciamis. Meski sudah bermunculan di sejumlah daerah, galendo Ciamis tetap punya keistimewaan tersendiri di lidah konsumen. Dulu, untuk bisa mencicipi nikmatnya galendo Ciamis, orang harus membeli langsung ke rumah-rumah penduduk penghasil galendo. Belakangan, galendo sudah tersedia di sejumlah supermarket dengan kemasan yang menawan. Ya, mirip seperti kemasan dodol Garut.
Penganan yang terbuat dari ampas minyak kelapa itu memang identik dengan Ciamis dimana Ciamis merupakan salah satu penghasil kelapa terbesar di Jawa Barat. Meski sudah bermunculan di sejumlah daerah, galendo Ciamis tetap punya keistimewaan tersendiri di lidah konsumen. Galendo enak dinikmati bersama secangkir teh panas atau kopi pahit, apalagi jika di cocolkan dengan gula putih, wuih mantap. Saat ini Galendo sudah tersedia di mana-mana, dengan kemasan yang menarik. Harga Galendo bervariasi dari Rp15.000 hingga Rp100.000 per bungkus tergantung besar kecilnya dan jugatentunya kualitas dari Galendo itu sendiri.
Selain itu Galendo juga memiliki cita rasa yang berbeda-beda untuk menambah rasa nikmat, seperti rasa coklat, dan Strawberry. Tapi tetap saja untuk menikmati cita rasa yang beda lebih baik jika dibuat dan dimakan di kota asalnya, ayo jangan mau ketinggalan.
Perajin galendo di Ciamis mempunyai trik sendiri agar galendo bisa dijadikan makanan yang  menarik, bahannya tak hanya ampas pembuatan minyak kelapa, tapi juga dicampur cokelat, rasa stroberi, dan bahan lain. Ukuran kemasan juga dibuat berbeda-beda. Dengan upaya itulah, kelas galendo bisa naik dan nangkring di supermarket.
Tentunya untuk mengangkat galendo sebagai makanan khas Ciamis, masyarakat Ciamis juga harus ikut turut serta mengenalkannya, misalnya dalam bentuk oleh-oleh untuk teman, saudara, dll. Semoga Galendo bisa menjadi salah satu daya tarik tersendiri sebagai makanan khas Ciamis


Galendo, hasil samping produksi minyak kelapa, memiliki kandungan protein yang relatif tinggi, namun galendo komersial mengandung minyak yang relatif tinggi, sehingga menyebabkan galendo bersifat lengket dan cepat berbau tengik. Pengurangan kandungan minyak dalam galendo akan menghasilkan galendo yang tidak cepat berbau tengik serta memiliki sifat kurang lengket sehingga akan memudahkan proses lanjutan untuk dijadikan berbagai jenis makanan lain. Kandungan minyak galendo dikurangi dengan ekstraksi metode refluks menggunakan etil asetat. Sebelum dan setelah ekstraksi, ditentukan kadar minyak secara ektraksi Weibull, kadar protein secara Kjeldahl, kadar karbohidrat secara kolorimetri, kadar air, susut pengeringan, sisa pemijaran, kandungan logam berat, kadar akrilamida, bilangan peroksida, dan kecepatan aliran serbuk. Galendo setelah diekstraksi mengandung minyak 0,03+-0,01%, protein 42,1+-0,9%, dan karbohidrat 45,1 =-0,2%, dengan kadar air 2,9%, susut pengeringan 3%, sisa pemijaran 8,1%, logam berat tidak melebihi 1 bpj, akrilamida 0,07 bpj, dan tidak terdeteksi adanya bilangan peroksida setelah 90 hari penyimpanan. Setelah ekstraksi, galendo dengan kandungan minyak yang sangat rendah (kurang dari 0,05%) bersifat tidak lengket, tidak cepat tengik, dan setelah diserbukkan dapat mengalir dengan laju aliran serbuk lebih dari 4 g/detik.
Deskripsi Alternatif :

Galendo, the edible by product of coconut oil production, contains relatively high amount of protein, but commercial galendo still contains relatively high amount of oil causing galendo to be readily rancid and sticky. Reduction of oil content of the galendo would reduce the rate of becoming rancid and would make it more practical to be processed. Oil content of galendo was reduced by reflux method with ethyl acetate. Before and after extraction process, the oil content was determined by Weibull method of extraction, the protein content by Kjeldahl, the carbohydrate content by colorimetry, water content, loss on drying, residue of ignition, heavy metal content, acrylamide content, peroxide values, and flow rate of the galendo powder were determined. Galendo after extraction had total oil 0.03+-0.01%, protein 42.1+-0.9%, carbohydrate 45.1+-0.2%, water content 2.9%, loss on drying 3%, residue of ignition 8.1%, heavy metal less than 1 ppm, acrylamide 0.07 ppm, and peroxide value not detected after 90 days storage. After extraction, the galendo of very low oil content (less than 0.05%) was unsticky, not readily rancid, and after being powdered, it was able to flow freely with a flow rate more than 4 g/second.

0 komentar:

 Kesenian Dogdog Lojor
 
Kesenian Dogdog Lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau Kesatuan Adat Banten Kidul yang tersebar disekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan Dogdog Lojor, yaitu nama salah satu waditra di dalamnya, tetapi disana juga digunakan Angklung karena ada kaitannya dengan ritual padi. Setahun sekali setelah panen, seluruh masyarakat mengadakan acara sera h taun atau seven taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai dengan petunjuk gaib.
 
 
Tradisi penghormatan padi dikalangan masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit Keraton Pajajaran dalam baresan pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka terhadap pengaruh modernisasi, serta hal-hal yang bersifat hiburan dan merupakan kesenangan duniawi yang bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula terhadap fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an Dogdog Lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak dan acara lainnya.
 
Instrumen yang digunakan dalam Dogdog Lojor ini adalah dua buah Dogdog Lojor dan empat buah Angklung. Keempat buah Angklung tersebut memilki nama, yang terbesar dinamakan Gonggong, kemudian Panembal, Kingking dan Inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang pemain sehingga semuanya berjumlah enam orang.
 
Lagu-lagu Dbgdog Lojor diantaranya Lagu Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Panganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis Dogdog dan Angklung cenderung tetap.
 
Sedikit berbeda dengan yang pernah tersaksikan pada tahun 1970­an di Kampung Adat Sirnaresmi Kec. Cisolok Kab. Sukabumi. Disini jumlah Angklungnya lebih banyak serta ditampilkan oleh dua kelompok yang seolah-olah berlawanan serta bertanding dalam mempertontonkan keragaman keterampilannya. Secara kompak masing-masing kelompok mempertunjukkan berbagai Iangkah sambil menabuh Angklungnya dan Dogdog Lojor. Mereka meloncat­loncat bersama, bergeser bersama dan berlarian menghindari gangguan kelompok lain. Mereka berlari data pola Oray-orayan serta bermain Ucing-ucingan, sating mengintai dan membuyarkan kelompok lain.
 
Dalam suatu upacara seren taun di Sirnaresmi pada tahun 70-an terlibat dalam Helaran Ngakut Pare. Kemudian setelah Ampih Pare, barisan Dogdog Lojor tampil mempertunjukkan keterampilannya untuk menghibur para pengunjung upacara. Dengan kehadiran Gondang dan Lesung yang berirama menambah menariknya suasana audio-visual didepan mata.
 
Di priangan timur satu-satunya uraian mengenai kehadiran perangkat Angklung Dogdog Lojor adalah di Limbangan Kabupaten Garut. Demikian menurut keterangan I. Kusnadi Penilik Kebudayaan Kandepdikbud Kec. Limbangan Kab. Garut.
 
Kesenian Dogdog Lojor ini sejak tahun 1900 telah ada di Desa Sukadana Kec. BL. Limbangan Kab. Garut. Oleh seorang warga kampung tersebut yang bemama Bapak Abdul.
 
Menurut cerita istilah Dogdog Lojor ini tercipta karena alat atau waditra yang dipergunakan berupa Dogdog panjang yang terbuat dari pohon jambe (pinang) dan dilengkapi oleh sebuah Angklung serta Kohkol untuk Iebih menyemarakan suara.
 
Menurut kepercayaan pendudu setempat kesenian ini dimaksudkan untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diturunkan hujan bila saat musim kemarau tiba, sambil memandikan seekor kucing dan diarak secara beramai-ramai. Namun sekarang kesentan ini hanya merupakan sarana hiburan baik secara perorangan maupun pada acara-acara formal atau hari libur Nasional.
 
Sekitar tahun 1930-an, Bapak Abdul meninggal dunia dan kesenian ini hanya dilanjutkan oleh putranya yaitu Bapak Harun (80 tahun) yang masih ada sampai sekarang.
 
Kesenian Dogdog Lojor ini didukung oleh 8 orang pemain antara lain
 
- Dua orang pemain Angklung
 
- Tiga orang pemain Dogdog panjang (lojor)
 
- Dua orang pemain Kohkol
 
- Satu orang pemain Keprak sebagai pelengkap
 
Lama pertunjukkan ini rata-rata 1-2 jam apabila dipertunjukkan untuk umum, akan tetapi dapat diperpendek apabila pertunjukkan untuk acara­acara yang Nasional seperti HUT Kemerdekaan RI.
 
Sementara busana yang dikenakan oleh pemainnya yaitu baju takwa, celana sontog dan totopong. Demikian uraian singakt mengenai Dogdog Lojor yang ada di wilayah Kampung Sukadana Kec. BL. Limbangan Kab. Garut. Sungguh disayangkan apabila seni ta/ari (tardisional) ini akan lenyap tergerus oleh jaman yang tidak lagi mendorong kelestariannya (talari paranti) sebagai pusaka budaya Sunda

0 komentar:

ketuk tilu

Istilah ketuk tilu diambil dari alat musik pengiringnya, yaitu 3 buah ketuk (bonang) yang memberi pola irama rebab, kendang (gendang) indung(besar) dan kulanter(kecil) untur mengatur dinamika tari/kendang yang diiringi kecrek dan goong. 
Dahulu, ketuk tilu adalah upacara menyambut panen padi sebagai rasa terima kasih kepada Dewi Sri. Upacara ini dilakukan pada waktu malam hari, dengan mengarak seorang gadis diiringi bunyi-bunyian yang berhenti di tempat luas. Sekarang, ketuk tilu menjadi tarian pergaulan dan hiburan, biasanya diselenggarakan pada pesta perkawinan, hiburan penutup suatu kegiatan, atau digelar pada acara-acara khusus. Di desa-desa tertentu, pertunjukan tari ketuk tilu sering dilakukan semalaman suntuk. 
Kostum yang dipakai penari wanita ketuk tilu adalah kebaya, sinjang (celana panjang) sabuk, dan beragam aksesoris, seperti gelang dan kalung. Sedangkan untuk penari pria, mengenakan baju kampret warna gelap, celana pangsi, ikat kepala, dan sabuk kulit.
 Nama gerak ketuk tilu antara lain depog/ ewag, ban karet, bajing luncat, bongbang, meulit kacang, oray -orayan, kalawit, jerete, torondol, balik bandung, balungbang, dll. Lagu-lagu yang digunakan adalah lagu kidung, erang, kagok, kaji-kaji, polontosmo, golektrak, tunggul kawung, sorong dll.

0 komentar:

seni tradisional

TUTUNGGULAN
 

Tutunggulan (Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur, Jawa Barat)

Asal-usul
Warungkondang adalah sebuah kecamatan yang secara administrastif termasuk dalam wilayah Kabupaten Cianjur. Kecamatan ini berada di kilometer 8 dari kota Cianjur ke arah selatan (ke arah Sukabumi). Masyarakatnya yang pada umumnya bekerja di bidang pertanian (sawah dengan sistem irigasi) sebagian besar menganut agama Islam. Di kecamatan ini, tepatnya di Kampung Cikujang, Desa sukarani, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, ada sebuah kesenian tradisional yang bernama “tutunggulan”1. Sebenarnya istilah ini tidak asing lagi bagi masayarakat Warungkondang karena pada saat-saat tertentu, yaitu ketika memberaskan padi, maka tutunggulan pun terdengar. Bahkan, pada masa lalu tutunggulan sengaja dibuat sekaras mungkin agar bisa terdengar dari jarak yang cukup jauh. Maksudnya adalah memberitahu kepada siapa saja yang mendengarnya bahwa di suatu tempat (asal tutunggulan) ada penghuninya. Maklum, ketika itu masyarakat Cianjur, termasuk masyarakat Warungkondang masih merupakan masyarakat petani yang berpindah-pindah (ber-huma). Mereka hidup secara berkelompok dan bertempat tinggal sementara di hutan. Dari bunyi-bunyian yang ditimbulkan oleh benturan antara alu dan lesung itulah yang kemudian melahirkan suatu kesenian yang disebut dengan “tutunggulan”.

Tim Seksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur (2002) menyebutkan bahwa kesenian tutunggulan lahir bersamaan dengan kesenian beluk. Sayangnya Tim tidak menjelaskan tentang kesenian yang disebut beluk. Menurut mereka, berdasarkan keterangan dari beberapa senimannya (Nini Acih, Nini Onem, Kikin Surtini, dan Ruslan Suryana), kesenian tutunggulan sudah ada sejak tahun 1761. Sebab, pada waktu itu kesenian beluk yang mendasari kesenian mamaos canjuran juga sudah ada. Walaupun seni tradisional tutunggulan telah dikenal oleh masyarakat Warungkondang--bahkan pada tahun 50-an menyebar ke kecamatan lain (Agrabinta, Kadupandak, dan Cidaun)--namun pola-pola tetabuhannya baru dikenal sejak tahun 1979. Ini adalah berkat seorang seniman Cidaun yang bernama Suhanda. Beliu inilah yang mengembangkan pola-pola tetabuhan tutunggulan menjadi 9 warna, yaitu: tikukur di adu, lutung luncat, sepak kuda, tikukur mandeg, buhaya ngangsar, sepak lodong, ajul gedang, dan ngalima.

Peralatan
Peralatan (alat musik) yang digunakan dalam kesenian yang disebut sebagai tutunggulan ini tidak banyak, tetapi cukup dengan peralatan yang sederhana dan ada di lingkungannya, yaitu: lisung (lesung), halu (alu), dan niru (tampi). Sebagai catatan, lesung yang ada di kalangan masyarakat Warungkondang agak khas dan unik karena banyak bagian-bagiannya masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Bagian-bagian itu adalah: panyongsong (lubang kecil yang ada di bagian ekor lesung), pamebeukan (lubang kecil yang ada di bagian kepala lesung), pamoroyan (lubang yang terdapat pada badan lesung), dan hulu lesung (kepala lesung).

Panjang keseluruhan lesung kurang lebih 220 centimeter; lebarnya kurang lebih 30 centimeter; tinggi kurang lebih 35 centimeter; diameter panyongsong kurang lebih 20 centimeter; diameter pamebeukan kurang lebih 15 centimeter; lebar pamoroyan kurang lebih 17 centimeter; panjang pamoroyan kurang lebih 100 centimeter; dan dalam pamoroyan kurang lebih 25 centimeter. Sementara, panjang alu kurang lebih 160 centimeter; diameter alu kurang lebih 15 centimeter. Sedangkan, diameter niru kurang lebih 37 centimeter.

Adapun bunyi-bunyi yang dihasilkan dari benturan antara lesung dan alu adalah: “trok”, “tung”, “dung”, dan “prek”. Bunyi “trok” dihasilkan dari pukulan antara alu dan bagian samping sebelah luar pamoroyan. Bunyi “tung” dihasilkan dari pukulan antara alu dan bagian samping sebelah dalam pamoroyan. Bunyi “dung” dihasilkan dari pukulan antara alu dan bagian dalam pamoroyan. Dan, “prek” dihasilkan dari benturan antaralu dalam posisi silang.

Pemain dan Busana
Pemain tutunggulan semuanya perempuan. Mereka berjumlah 8 orang dengan rincian: 2 orang pemegang alu-indung yang bertugas sebagai angeran wiletan (keajegan ketukan); 1 orang pemegang alu-koprek yang bertugas memainkan ketukan; 1 orang pemegang alu-mamanis yang bertugas memberi ornamen pada alu-koprek, sehingga terdengar bersahutan; dan 2 orang pemegang alu-ngalima yang bertugas memainkan tabuhan lagu. Sedangkan, yang 2 orang lagi adalah sebagai pemegang niru. Adapun pakaian yang dikenakan adalah pakaian sehari-hari yang berupa: kain-kebaya, sinjang, dan tutup kepala (kerudung).

Pementasan
Kesenian tradisional yang disebut sebagai tutunggulan ini biasanya dipentaskan pada kegiatan yang berkenaan dengan khajatan, khususnya perkawinan, dan penyimpanan padi ke lumbung. Selain itu, juga dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustusan). .

Fungsi
Ketika tutunggulan belum berkembang menjadi sebuah kesenian, ia berfungsi sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini adalah pemberitahuan kepada siapa saja yang mendengarnya bahwa di suatu tempat (asal suara tutunggulan) ada penghuninya. Dan, ketika telah menjadi sebuah kesenian pun fungsi komunikasi masih tetap ada, yaitu sebagai pemberitahuan bahwa seseorang punya khajat dan atau pemberitahuan bahwa calon pengantin laki-laki telah tiba. Ini artinya, kesenian ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi sekaligus juga sebagai hiburan.

Nilai Budaya
Sebagaimana kesenian pada umumnya, kesenian tutunggulan jika dicermati secara mendalam juga tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi ada nilai-nilai lain yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah kegotongroyongan, ketertiban dan atau keteraturan. Nilai kegotongroyongan tercermin pada saat pembuatan tepung beras ketika ada tetangga yang punya khajat. Dengan suka rela para tetangga membantunya sembari ber-tutunggulan. Sedangkan, nilai ketertiban dan atau keteraturan tercermin dalam ber-tutunggulan itu sendiri. Dalam hal ini antarpemegang alu harus tahu persis kapan harus menumbuknya, sehingga tidak terjadi benturan antaralu.

Kondisi Dewasa ini
Kesenian yang di masa lalu tidak asing lagi bagi masyarakat Warungkondang ini dewasa ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Generasi mudanya yang diharapkan dapat melestarikannya (melindungi, membina, dan mengembangkannya) justeru tidak banyak yang meminatinya. Mereka umumnya lebih menyukai kesenian kontemporer ketimbang kesenian tradisional yang dianggapnya sebagai ketinggalan alias kuno dan atau kampungan. Kondisi yang demikian pada gilirannya membuat kesenian tutunggulan bagaikan “kerokot yang tumbuh di atas batu” (hidup segan mati tak hendak), malahan hampir punah. Tim Seksi Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Cianjur (2002) menggambarkan kehampir-punahan kesenian ini tercermin sekurang-kurangnya dalam hal, yaitu: (1) pada saat ini sulit menemukan orang yang menguasai kesenian tutunggulan; (2) rendahnya tingkat apresiasi terhadap tutunggulan di kalangan generasi muda, khususnya ibu-ibu muda; (3) peralatan kesenian tutunggulan semakin langka karena peralatan pemberasan padi sudah mulai tergantikan dengan mesin; dan (4) semakin berkurangnya lahan persawahan, sehingga aktivitas yang berkenaan dengan pemberasan tradisional semakin langka.n.

0 komentar:

Asal Usul Kesenian Wayang Golek


Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.

Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
Jenis - Jenis Wayang Golek

Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.
Wayang Golek Cepak


Wayang golek cepak adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang ada di Indramayu dan Cirebon. Golek artinya boneka sedangkan kata cepak diambil dari bentuk kepala (mahkota) wayang yang papak (rata). Karena bentuk inilah jenis kesenian ini dinamakan wayang golek cepak. Konon wayang ini diciptakan oleh Sunan Gunung Djati sebagai media dakwah.
Berbeda dengan wayang kulit purwa, dalam wayang golek cepak tidak dikenal tokoh seperti Arjuna atau Shinta. Tokoh-tokoh yang ada dalam wayang golek cepak adalah subjek yang ada dalam babad atau sejarah. Maka dikenallah Nyi Mas Gandasari, Wiralodra, Ki Tinggjl, Kuwu Sangkan, Bagal Buntung, dan lain-lain. Dengan demikian, wayang ini sesungguhnya teater sejarah, panggung pendidikan. Dengan kata lain, ia sebuah diorama yang bergerak.
Selain grup "Sekar Harum" pimpinan dalang Ki Ahmadi, ada juga grup dan
dalang kesenian wayang golek lainnya. Mereka adalah Dalang Warsyad dengan gmp "Jaka Baru" dari Gadingan Sliyeg dan dalang Ki Tayut dari Desa Juntinyuat dengan nama grupnya "Sri Budi". Ki Tayut boleh dikatakan dalang senior untuk wayang golek cepak. Ia kemudian mewariskan ilmu dan perangkat keseniannya kepada anak dan cucunya, antara lain Taram, Asmara, dan Tarjaya.Setali tiga uang, nasib grup kesenian dan dalangnya sama; dalam titik nadir.
Wayang Golek Purwa



Wayang purwa sendiri biasanya menggunakan ceritera Ramayana dan Mahabarata, sedangkan jika sudah merambah ke ceritera Panji biasanya disajikan dengan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa sendiri terdiri dari beberapa gaya atau gagrak, ada gagrak Kasunanan, Mangkunegaran, Ngayogjakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainnya.
Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau, yang ditatah, diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit.
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
Nilai Budaya



Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: 
Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. 
Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. 
Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.

0 komentar:

 CALUNG

Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.

Calung Rantay

Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.

Calung Jinjing

Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.

Perkembangan

Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.

0 komentar: