seni tradisional
07.30Tutunggulan (Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur, Jawa Barat)
Asal-usul
Warungkondang adalah sebuah kecamatan yang secara administrastif termasuk dalam wilayah Kabupaten Cianjur.
Kecamatan ini berada di kilometer 8 dari kota Cianjur ke arah selatan
(ke arah Sukabumi). Masyarakatnya yang pada umumnya bekerja di bidang
pertanian (sawah dengan sistem irigasi) sebagian besar menganut agama
Islam. Di kecamatan ini, tepatnya di Kampung Cikujang, Desa sukarani,
Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, ada sebuah kesenian
tradisional yang bernama “tutunggulan”1.
Sebenarnya istilah ini tidak asing lagi bagi masayarakat Warungkondang
karena pada saat-saat tertentu, yaitu ketika memberaskan padi, maka
tutunggulan pun terdengar. Bahkan, pada masa lalu tutunggulan sengaja
dibuat sekaras mungkin agar bisa terdengar dari jarak yang cukup jauh.
Maksudnya adalah memberitahu kepada siapa saja yang mendengarnya bahwa
di suatu tempat (asal tutunggulan) ada penghuninya. Maklum, ketika itu
masyarakat Cianjur, termasuk masyarakat Warungkondang masih merupakan
masyarakat petani yang berpindah-pindah (ber-huma). Mereka hidup secara
berkelompok dan bertempat tinggal sementara di hutan. Dari bunyi-bunyian
yang ditimbulkan oleh benturan antara alu dan lesung itulah yang
kemudian melahirkan suatu kesenian yang disebut dengan “tutunggulan”.
Tim
Seksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur
(2002) menyebutkan bahwa kesenian tutunggulan lahir bersamaan dengan
kesenian beluk. Sayangnya Tim tidak menjelaskan tentang kesenian yang
disebut beluk. Menurut mereka, berdasarkan keterangan dari beberapa
senimannya (Nini Acih, Nini Onem, Kikin Surtini, dan Ruslan Suryana),
kesenian tutunggulan sudah ada sejak tahun 1761. Sebab, pada waktu itu
kesenian beluk yang mendasari kesenian mamaos canjuran juga sudah ada.
Walaupun seni tradisional tutunggulan telah dikenal oleh masyarakat
Warungkondang--bahkan pada tahun 50-an menyebar ke kecamatan lain
(Agrabinta, Kadupandak, dan Cidaun)--namun pola-pola tetabuhannya baru
dikenal sejak tahun 1979. Ini adalah berkat seorang seniman Cidaun yang
bernama Suhanda. Beliu inilah yang mengembangkan pola-pola tetabuhan
tutunggulan menjadi 9 warna, yaitu: tikukur di adu, lutung luncat, sepak
kuda, tikukur mandeg, buhaya ngangsar, sepak lodong, ajul gedang, dan
ngalima.
Peralatan
Peralatan
(alat musik) yang digunakan dalam kesenian yang disebut sebagai
tutunggulan ini tidak banyak, tetapi cukup dengan peralatan yang
sederhana dan ada di lingkungannya, yaitu: lisung (lesung), halu (alu),
dan niru (tampi). Sebagai catatan, lesung yang ada di kalangan
masyarakat Warungkondang agak khas dan unik karena banyak
bagian-bagiannya masing-masing mempunyai fungsi tersendiri.
Bagian-bagian itu adalah: panyongsong (lubang kecil yang ada di bagian
ekor lesung), pamebeukan (lubang kecil yang ada di bagian kepala
lesung), pamoroyan (lubang yang terdapat pada badan lesung), dan hulu
lesung (kepala lesung).
Panjang
keseluruhan lesung kurang lebih 220 centimeter; lebarnya kurang lebih
30 centimeter; tinggi kurang lebih 35 centimeter; diameter panyongsong
kurang lebih 20 centimeter; diameter pamebeukan kurang lebih 15
centimeter; lebar pamoroyan kurang lebih 17 centimeter; panjang
pamoroyan kurang lebih 100 centimeter; dan dalam pamoroyan kurang lebih
25 centimeter. Sementara, panjang alu kurang lebih 160 centimeter;
diameter alu kurang lebih 15 centimeter. Sedangkan, diameter niru kurang
lebih 37 centimeter.
Adapun
bunyi-bunyi yang dihasilkan dari benturan antara lesung dan alu adalah:
“trok”, “tung”, “dung”, dan “prek”. Bunyi “trok” dihasilkan dari
pukulan antara alu dan bagian samping sebelah luar pamoroyan. Bunyi
“tung” dihasilkan dari pukulan antara alu dan bagian samping sebelah
dalam pamoroyan. Bunyi “dung” dihasilkan dari pukulan antara alu dan
bagian dalam pamoroyan. Dan, “prek” dihasilkan dari benturan antaralu
dalam posisi silang.
Pemain dan Busana
Pemain
tutunggulan semuanya perempuan. Mereka berjumlah 8 orang dengan
rincian: 2 orang pemegang alu-indung yang bertugas sebagai angeran
wiletan (keajegan ketukan); 1 orang pemegang alu-koprek yang bertugas
memainkan ketukan; 1 orang pemegang alu-mamanis yang bertugas memberi
ornamen pada alu-koprek, sehingga terdengar bersahutan; dan 2 orang
pemegang alu-ngalima yang bertugas memainkan tabuhan lagu. Sedangkan,
yang 2 orang lagi adalah sebagai pemegang niru. Adapun pakaian yang
dikenakan adalah pakaian sehari-hari yang berupa: kain-kebaya, sinjang,
dan tutup kepala (kerudung).
Pementasan
Kesenian
tradisional yang disebut sebagai tutunggulan ini biasanya dipentaskan
pada kegiatan yang berkenaan dengan khajatan, khususnya perkawinan, dan
penyimpanan padi ke lumbung. Selain itu, juga dalam rangka memperingati
hari kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustusan). .
Fungsi
Ketika
tutunggulan belum berkembang menjadi sebuah kesenian, ia berfungsi
sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini adalah pemberitahuan kepada siapa
saja yang mendengarnya bahwa di suatu tempat (asal suara tutunggulan)
ada penghuninya. Dan, ketika telah menjadi sebuah kesenian pun fungsi
komunikasi masih tetap ada, yaitu sebagai pemberitahuan bahwa seseorang
punya khajat dan atau pemberitahuan bahwa calon pengantin laki-laki
telah tiba. Ini artinya, kesenian ini tidak hanya berfungsi sebagai alat
komunikasi tetapi sekaligus juga sebagai hiburan.
Nilai Budaya
Sebagaimana
kesenian pada umumnya, kesenian tutunggulan jika dicermati secara
mendalam juga tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi ada
nilai-nilai lain yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai itu antara
lain adalah kegotongroyongan, ketertiban dan atau keteraturan. Nilai
kegotongroyongan tercermin pada saat pembuatan tepung beras ketika ada
tetangga yang punya khajat. Dengan suka rela para tetangga membantunya
sembari ber-tutunggulan. Sedangkan, nilai ketertiban dan atau
keteraturan tercermin dalam ber-tutunggulan itu sendiri. Dalam hal ini
antarpemegang alu harus tahu persis kapan harus menumbuknya, sehingga
tidak terjadi benturan antaralu.
Kondisi Dewasa ini
Kesenian
yang di masa lalu tidak asing lagi bagi masyarakat Warungkondang ini
dewasa ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Generasi
mudanya yang diharapkan dapat melestarikannya (melindungi, membina, dan
mengembangkannya) justeru tidak banyak yang meminatinya. Mereka umumnya
lebih menyukai kesenian kontemporer ketimbang kesenian tradisional yang
dianggapnya sebagai ketinggalan alias kuno dan atau kampungan. Kondisi
yang demikian pada gilirannya membuat kesenian tutunggulan bagaikan
“kerokot yang tumbuh di atas batu” (hidup segan mati tak hendak),
malahan hampir punah. Tim Seksi Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan, Kabupaten Cianjur (2002) menggambarkan kehampir-punahan
kesenian ini tercermin sekurang-kurangnya dalam hal, yaitu: (1) pada
saat ini sulit menemukan orang yang menguasai kesenian tutunggulan; (2)
rendahnya tingkat apresiasi terhadap tutunggulan di kalangan generasi
muda, khususnya ibu-ibu muda; (3) peralatan kesenian tutunggulan semakin
langka karena peralatan pemberasan padi sudah mulai tergantikan dengan
mesin; dan (4) semakin berkurangnya lahan persawahan, sehingga aktivitas
yang berkenaan dengan pemberasan tradisional semakin langka.n.
0 komentar: